Aktivis Masa Kini

Seorang aktivis, menurut saya, mengandung makna yang sangat berat. Dari segi pengertiannya saja, bahwa Aktivis adalah orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan dalam organisasinya (dilansir dari KBBI online). 

Terlepas dari arti kata aktivis menurut KBBI, menurut saya pribadi, menjadi seorang Aktivis adalah bagaimana kita sebagai masyarakat Indonesia lebih berlaku aktiv, aktiv dalam memperjuangkan kebenaran, mengutuk setiap kedzoliman yang terjadi di Negeri Pertiwiini. Belum lagi, aktivis yang notabenya memang harus melekat pada diri mahasiswa, dimana seorang mahasiswa paling tidak memegang peran penting sebagai Agent of Change, Agent of Social Control, dan Iron Stock dan banyak peran penting, khususnya dalam bermasyarakat.

“Jika kita lihat sejarah terbentuknya Negara Indonesia, juga tidak lepas dari peran aktivis dalam memperjuangkannya”

ketika masa penjajahan belanda pada tahun 1908-an, Dalam masa yang penuh tantangan dihadapkan dengan suasana kolonialisme, realitas politik berupa berlangsungnya proses pembodohan dan penindasan secara struktural yang dilakukan Belanda, berkat kemajuan pendidikan yang berhasil mereka raih berimplikasi pada peningkatan tingkat kesadaran politik, para pelajar dan mahasiswa merasakan sebagai golongan yang paling beruntung dalam pendidikan sehingga muncul tanggung jawab untuk mengemansipasi bangsa Indonesia.

Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh Pemuda Pelajar Mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.

Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.

Beralih ke pertengahan tahun 1923. Serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali dari studinya di Belanda ke tanah air Indonesia. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang dihadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.

Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia: Generasi 1928. Maka, tantangan zaman yang dihadapi oleh generasi ini adalah menggalang kesatuan pemuda, yang secara tegas dijawab dengan tercetusnya Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.

“Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia”

– Sumpah Pemuda Indonesia –

Berbeda dengan pemerintahan belanda, pada tahun 1945 masa penjajahan yang beralih dari Belanda ke pemerintahan Jepang lebih represif dalam pergerakan-pergerakan kawula muda yang melakukan perkumpulan, terutama yang berbau politik. Hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.

Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.

Baca Juga  Cara Mencegah Pulsa Tersedot karena Paket Yellow Indosat

Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok “bawah tanah” yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok. Peristiwa Rengasdengklok itu dilatarbelakangi oleh adanya perbedaan pandangan antar generasi tentang langkah-langkah yang harus ditempuh dalam memproklamasikan kemerdekaan. Saat itu Jepang telah menyerah kepada sekutu, dan pemuda (yang cenderung militan dan non kompromis) menuntut peluang tersebut segera dimanfaatkan, tetapi generasi tua seperti Soekarno dan Hatta cenderung lebih memperhitungkan situasi secara realistis. Tetapi akhirnya kedua tokoh proklamator itu mengabulkan keinginan pemuda, dan memproklamasikan negara Indonesia yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.

Semenjak Indonesia dinyatakan merdeka, pergerakan-pergerakan aktivis pemuda pada masa itu semakin masif, dan kembali memuncak pada tahun 1998, ketika tuntutan masyarakat dan para aktivis pergerakan yang kecewa dengan praktik politik pemerintahan kala itu sudah bergejolak selama puluhan tahun, akhirnya mereka bersama-sama bertekad untuk meruntuhkan kekuasaan rezim orde baru.

Ini disebabkan oleh aksi-aksi mahasiswa yang marak mengajukan protes dan keprihatinan, seolah-olah dianggap angin lalu, sedangkan hasil-hasil dialog dengan berbagai fraksi menuntut agenda Reformasi hanya “ditampung” dalam artian kasar = ditolak.

Walaupun sempat dilaksanakan praktik pemilihan presiden baru yang ‘katanya’ demokrasi, dengan mengajukan calon presiden dan wakil presiden, diantaranya Ibu Megawati, Amin Rais, Emil Rais, dan Soeharto-pun ikut dicalonkan oleh Golkar. Namun, calon-calon tandingan dari masyarakat tidak mendapat tanggapan dari kekuatan politik di MPR, yang berakibat Soeharto kembali menjadi presiden dengan BJ. Habibie menjadi wakilnya.

Aksi demonstrasi yang berasal dari berbagai kalangan saat itu tidak sia-sia, Soeharto akhirnya mengundurkan diri. Walaupun menurut penulis, kata mengundurkan diri itu sebenarnya tidak pantas atau bahkan terlalu mulia bagi seorang Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama sekitar 31 tahun dengan berbagai macam kedzoliman yang telah dibuatnya.

Proses luar biasa yang dilakukan oleh aktivis kala itu menjadi buah bukti keseriusan dalam memperjuangkan hak-hak dan kesejahteraan rakyat pribumi Indonesia.

“Berkaca dari apa yang sudah dilakukan aktivis pada masa lalu, seharusnya aktivis masa sekarang bisa lebih berperan dalam menjalankan fungsinya”

Perlu diketahui, bahwa ranah gerak seorang aktivis seharusnya bersifat fleksibel, yang mana dari zaman ke zaman selalu mengalami perubahan. Zaman ketika sebelum Indonesia merdeka dan masih berada dalam pendzoliman yang dilakukan oleh tentara penjajah, pergerakannya lebih mengarah ke perlawanan bukan hanya sebatas pemikiran, tapi juga tenaga yang bertujuan untuk memerdekakan Indonesia.

Berbeda dengan zaman sekarang, yang mana Indonesia sudah dikatakan merdeka untuk waktu yang cukup lama. Istilah penjajahan seperti sebelum tahun 1945 yang dengan terang-terangan mendzolimi rakyat pribumi dengan kejahatan rezim Belanda, Jepang, dan lain sebagainya sudah tidak ditemukan lagi. Indonesia sekarang sedang merasakan penjajahan yang cenderung mencuri kekayaan bumi pertiwi secara resmi (sebut saja sebagai contoh, adalah kasus penambangan emas di PT. Freeport), dan penjajahan moral yang sampai saat ini menjadi racun bagi generasi muda bangsa.

Praktik penjajahan yang dilakukan lewat dunia maya pun, sudah sangat menguras kocek yang tidak sedikit. Sebagai salah satu contoh saja, bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah RGA Facebook terbesar di dunia. Jumlah pengguna aktif bulanan Facebook di Tanah Air mencapai kisaran 82 juta orang pada kuartal-IV 2015 (kompas.com).

Baca Juga  Perbaiki Niat Memperbaiki Diri

Dilihat dari satu media sosial facebook yang merupakan salah satu produk yang menjamur di masyarakat saja, Indonesia sudah harus membayar biaya bandwidth (sebut saja biaya internet) dengan jumlah yang tidak murah. Belum ditambah dengan twitter, yahoo, google, instagram, dan lain sebagainya yang memang berasal dari luar Indonesia. Praktis, seakan-akan Indonesia harus membayar upeti secara terus menerus kepada mereka diluar sana.

Sebenarnya, Indonesia dikatakan sebagai negara yang merdeka pun, menurut saya masih belum sepenuhnya pantas. Penjajahan di dunia nyata dan bahkan bertambah di dalam dunia maya, sampai sekarang masih terlalu banyak yang ditemukan, dan sebagian besar malah bertambah parah.

Keadaan Indonesia dan masyarakat-nya sudah jauh berbeda dengan yang lalu. Masyarakat dan bahkan kebanyakan pemuda itu sendiri banyak yang terlena dengan zona nyaman yang ditawarkan oleh teknologi yang sebagian besar lagi-lagi berasal dari luar negeri. Bagi seorang aktivis, seharusnya bisa lebih peka terhadap situasi yang sedang dihadapi sekarang ini.

Menurut hemat saya, yang memang notabenya bergelut dibidang teknologi, menjadi seorang aktivis masa kini yang memberikan kontribusi untuk Indonesia dan masyarakatnya bisa dilakukan memalui berbagai macam cara. Selain dengan hard action seperti turun ke jalan, dan melakukan demonstrasi menyuarakan suara rakyat, juga bisa dengan soft action, atau dalam bahasa lain bergelut dibelakang layar, yaitu memperjuangkan kesejahteraan rakyat dengan keahlian keilmuan yang dia miliki.

“Bergerak sebagai Agent of Change”

Berbicara mengenai Agent of Change, yang merupakan salah satu pokok dari kewajiban aktivis, zaman sekarang bisa dengan cara ikut berkarya mengembangkan kreativitas anak bangsa guna menutupi pintu kebocoran penjajahan yang dilakukan melalui dunia maya. Bagaimana untuk bisa memajukan teknologi Indonesia, yang pada intinya adalah terbentuknya Negara Indonesia yang mandiri dalam hal teknologi, sehingga tidak ada lagi yang namanya pembayaran bandwidth luar negeri, penyewaan hosting (penyimpanan di internet) dan pencurian-pencurian data sekian banyak akun media sosial yang mungkin masyarakat tidak sadar dengan hal itu dan bahkan bisa mengancam keamanan negara.

Kita ambil contoh kecil, yaitu negara China yang dengan tegasnya memblokir berbagai macam akses website ternama dunia, seperti facebook, google, youtube, line, dll. Pemblokiran akses ke situs-situs ternama itu apakah membuat negara China ketertinggalan akan teknologi? Ternyata tidak. Banyak sekali dampak positif yang China dapatkan dari kebijakan itu.

Pertama, kebijakan tersebut secara tidak langsung memaksa masyarakat China untuk lebih berfikir kreatif dan membuat aplikasi dan website tandingan yang berada dibawah naungan negara itu sendiri. Misal keberadaan mesin pencari Baidu yang menggantikan Google, QQ untuk menggantikan email dan facebook, dan berbagai macam Application store yang menggantikan google play store. Aplikasi-aplikasi itu bahkan tidak hanya digunakan di negara itu sendiri, tapi juga banyak digemari masyarakat di berbagai lapisan negara lain.

Selanjutnya adalah bertambahnya pemasukan Negara karena semua konten dan periklanan berpusat dan kembali dikelola internal oleh China itu sendiri. Pembayaran bandwidth luar negeri yang pastinya berkurang, dan pembayaran pajak iklan yang tidak sama sekali masuk ke kantong perusahaan luar, melainkan masuk kepada pendapatan negara.

Berikutnya, yang paling penting adalah terjaganya data-data privasi dari setiap akun yang kemungkinan untuk dicuri pihak luar otomatis dapat dikurangi secara signifikan, mengingat semua pengelolaan berada didalam negara.

“Lalu, Bagaimana dengan Indonesia..?”

Baca Juga  Urgensi Santri Menulis Catatan Ngaji

Seperti yang sudah saya sampaikan bahwa sampai saat ini, Indonesia masih sangat bergantung pada penyedia teknologi dari luar negeri.

Beralih ke peran aktivis sebagai Agent of Social Control, bahwa seorang aktivis seharusnya bisa melalukan pemberontakan, jika terjadi hal hal yang memang tidak beres atau ganjil dalam masyarakat. Seorang aktivis seharusnya dapat menumbuhkan jiwa peduli terhadap masyarakat dan anti praktik pendzoliman yang dilakukan oleh sebagian oknum.

Salah satu kewajiban bersama, adalah mengenai penyelesaian masalah yang dihadapi Indonesia saat ini bukan hanya mengenai penjajahan dari luar negeri saja. Masih begitu banyak benalu-benalu negara yang berasal dari dalam negeri ibu pertiwi ini. Sebut saja mereka para koruptor. Bahkan ada statement yang menyebutkan bahwa, jika Indonesia bebas koruptor maka gaji atau UMR di setiap daerah adalah 30 juta, dan Indonesia bebas dari rakyat miskin.

“Dari teknologipun, seorang aktivis bisa memberantas koruptor..!“

Seorang aktivis juga bisa berkontribusi bagi Indonesia dengan ikut serta memberantas praktik korupsi melalui pembuatan suatu sistem yang memungkinkan tangan-tangan nakal penikmat uang rakyat dapat terjerat. Misalnya seorang aktivis dapat menganalisa alur korupsi yang sudah terjadi dari perihal perpajakan, kemudian membuat suatu sistem perpajakan yang disitu terekam jelas informasi dari setiap transaksi yang dilakukan, disertai verifikasi data yang meminimalisir terjadinya penyelewengan dana dan lain sebagainya.

Dengan pemaparan singkat saya mengenai penggunaan teknologi bagi ranah gerak aktivis secara soft action, bukan berarti mengesampingkan peran hard action. Zaman sekarang, aktivis juga dituntut untuk melakukan demonstrasi dan menyuarakan suara rakyat ke kaum-kaum elit di atas sana jika memang kedzaliman yang dilakukan sudah kelewat batas.

“Menjadi Iron Stock, mampukah seorang aktivis mengembannya?”

Tak jauh dari peran aktivis di era yang dulu, menjadi Iron Stock guna meneruskan estafet kepemimpinan juga sangat dibutuhkan di era ini. Dah bahkan menurut penulis, kata-kata “penerus” itu sendiri sudah tidak lagi pantas, atau bahkan lebih baik dihilangkan untuk saat ini. Jika yang sekarang begitu bobrok dan terlalu banyak kedzoliman, apakah itu patut diteruskan..?

Indonesia sekarang ini lebih membutuhkan generasi-generasi pengganti, generasi dimana bisa mengganti berbagai macam kekurangan menjadi kelebihan, kesengsaraan menjadi kesejahteraan, kebohongan menjadi kejujuran, keserakahan menjadi ke wira’i an, kesombongan menjadi ketawadlu’an, dan semua cita-cita bangsa yang masih terpendam menjadi sesuatu yang terealisasikan.

“Indonesia saat ini membutuhkan generasi pengganti”

Generasi pengganti bagi generasi saat ini yang mungkin kurang berkomitmen tinggi, generasi saat ini yang mungkin masih mementingkan diri sendiri, generasi saat ini yang terkadang menindas pihak lain demi bisa unjuk gigi. Nah, Aktivislah yang sangat berperan dalam hal ini.

lalu…

“Apakah pantas, aku disebut seorang Aktivis”

Ini mengenai sebuah cita-cita.

yang mungkin anak TK pun sudah menyuarakannya.

atau bahkan, berteriak menyebutnya..!

Ini mengenai sebuah nama.

yang mungkin, setiap makhluk memilikinya,

namun ini adalah nama tanah airku, Indonesia.

ini mengenai cita-cita sebuah negara

negara yang darah dan dagingku tumbuh darinya.

cita-cita yang sangat mulia, agar masyarakat sejahtera.

hahaha, lalu aktivis ? apa perannya ?

Jadi aktivis itu bukan sekedar ngopi.

apalagi hanya tidur, makan, dan tidur lagi.

ah, apalah..

silahkan anda artikan sendiri.

lalu, sekarang apa realitanya ?

apakah hanya sebagai alat demo semata ?

atau hanya sebatas nama ?

akupun belum begitu memahaminya.

maka aku, ataupun saya.

gelar seorang aktivis, tak pantas aku menyandangnya.


Catatan diatas adalah catatan lama yang ditulis 3 November 2016. Jadi, mohon maaf bila ada yang keliru / membuat tidak berkenan.

You may also like...

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *